Sikap Hidup Di Hari Senja

Sunday, January 11, 2009

Kategori Lanjut Usia
Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.
Jakarta, 4/1/2008

Post power syndrome

Istilah post power syndrome (selanjutnya akan disebut PPS) sudah populer di masyarakat kita dan sering dikaitkan dengan masa pensiun. Manakala kita menemui seorang yang telah lepas dari jabatan tertentu namun bersikap seolah-olah masih memegang posisi penting dan memandang orang lain sebagai bawahannya, kita akan langsung menebak orang tersebut mengalami PPS. Hal itu pulalah yang menjadikan susahnya regenerasi kepemimpinan di negeri ini. Sangat sulit ditemui seorang mantan pemimpin daerah atau institusi penting yang begitu lepas dari jabatannya mampu legowo berbaur dengan 'orang biasa' dan bersikap selayaknya 'orang biasa'. Terlebih jika tampuk kepemimpinan itu dinikmati dalam kurun waktu yang lama tanpa pesaing.

Supardi (2002) menyatakan PPS sebagai perubahan suatu keadaan yang sebelumnya menguntungkan menjadi tidak menguntungkan seperti kehilangan pekerjaan, jabatan atau perubahan status sosial ekonomi.

Turner & Helms (dalam Supardi, 2002) menggambarkan penyebab terjadinya PPS dalam kasus kehilangan pekerjaan yakni (1) kehilangan harga diri- hilangnya jabatan menyebabkan hilangnya perasaan atas pengakuan diri); (2) kehilangan fungsi eksekutif- fungsi yang memberikan kebanggaan diri; (3) kehilangan perasaan sebagai orang yang memiliki arti dalam kelompok tertentu; (4) kehilangan orientasi kerja; (5) kehilangan sumber penghasilan terkait dengan jabatan terdahulu.

Semua ini bisa membuat individu pada frustrasi dan menggiring pada gangguan psikologis, fisik serta sosial. Gangguan tersebut biasanya ditandai dengan munculnya sensitivias emosional seperti mudah kecewa, cepat tersinggung, uring-uringan tanpa sebab yang jelas, gelisah juga diliputi kecemasan berlanjut.

PPS tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal seperti dipaparkan di atas, melainkan juga ditentukan oleh faktor internal seperti kepribadian dan sikap mental. Erikson menggambarkan perkembangan psikososial seseorang dalam delapan tahapan; infancy, early childhood, play age, school age, adolescence, young adulthood, adulthood dan old age.


Masa Pensiun

Old age (masa tua) bisa menjadi masa yang menyenangkan atau sebaliknya menyedihkan. "Old age can be a time of joy, playfulness, and wonder, but it is also a time of senility, depression, and despair," (Erikson dalam Fiest & Fiest, 2002). Kekuatan di masa ini adalah wisdom (kebijaksanaan) yang oleh Erikson digambarkan sebagai kondisi kaya akan pemahaman dan obyektif terhadap kehidupan dalam menghadapi akhir dari kehidupan itu sendiri, "informed and detached concern with life itself in the self of death itself."

Individu usia 55 - 65 tahun mengalami fase ke-7 (fase generativitas vs stagnasi) dan ke-8 (fase integritas diri vs putus asa) dalam tahap perkembangan Erikson. Pada individu yang mengalami PPS, fase stagnasi dan putus asa lah yang mendominasi perilakunya.

Fase stagnasi adalah fase di mana individu terpaku dan berhenti dalam beraktivitas atau berkarya, sementara pada fase putus asa, individu merasakan kecemasan yang mendalam, merasa hidupnya sia-sia, tidak berarti.


Sikap mental

Sukaji (1997) merumuskan sikap terhadap masa pensiun sebagai suatu kecenderungan untuk bereaksi favorable (menyenangi, menyetujui, menganggap baik dan positif) atau unfavorable terhadap suatu kelas stimuli tertentu, misalnya terhadap para pensiunan menghadapi masa pensiun.

Tri Mardhany dalam skripsinya yang berjudul Makna hidup pada pensiunan yang mengalami post power syndrome dengan yang tidak mengalami post power syndrome (Fakultas Psikologi UI, 2003) menyimpulkan bahwa perbandingan sikap menghadapi masa pensiun pada pensiunan yang mengalami PPS dan non PPS secara signifikan mengalami perbedaan. Non PPS menyikapi masa pensiun secara positif dan menyadari usianya telah lanjut. Sedangkan PPS menyikapi masa pensiun dengan menyangkalnya. Penyangkalan ini karena mereka yang mengalami PPS memiliki orientasi pada bekerja dan jabatan yang disandang.
Menarik untuk disimak hasil studi Tri Mardhany dalam tabel berikut:

Perbedaan Sikap dan Makna Hidup antara Pensiun PPS dan Non PPS

Deprivasi Relatif

Secara singkat deprivasi relatif merupakan ketidaksesuaian antara kenyataan hidup yang dialami dengan definisi hidup yang layak, antara harapan atas suatu pekerjaan dengan kenyataan hidup yang dialami (Bowen, Bowen dan Gawsier,1968) atau feelings of dissatisfaction, discontent and unfairness (Grant & Brown, 1995).

Orang yang kehilangan pekerjaan baik karena telah memasuki pensiun atau pemutusan hubungan kerja dan sebagainya sangat mungkin mengalami deprivasi relatif. Perasaan kehilangan dan tidak adilnya hidup masa sekarang dibandingkan dengan masa yang sebelumnya. Terdapat proses perbandingan di sini.

PPS, yang merupakan kondisi tidak menguntungkan dari keadaan terdahulu sejalan dengan deprivasi yang akan sangat terasa karena orientasi diri orang yang mengalami PPS ada pada pekerjaan dan kekuasaan. Meskipun dalam studi deprivasi, sebesar apapun kesenjangan antara harapan dengan kenyataan tidak selalu menghasilkan ketidakpuasan dan kemarahan (Wright, Taylor, Moghaddam,2001; Klandersman,1997). Namun Klandersman dalam value-expectancy theory nya juga menyatakan bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi nilai (value) dari hasil yang diharapkan dari sebuah perbuatan. "Individual's behavior is a function of the value of expected outcomes of behavior" (Klandersman,1997,h.26). Perilaku seseorang akan menghasilkan sesuatu, semakin tinggi nilai yang diharapkan, semakin tinggi pula keinginan untuk mewujudkan perilaku tertentu.


Asa

Mantan presiden Amerika Jimmy Carter masih sering terlihat aktif berkeliling dunia dalam misi kemanusiaan dan masih mendapat penghormatan dan penghargaan tulus masyarakat dunia. Semoga bangsa Indonesia tidak harus menunggu lebih lama lagi untuk memiliki dan menyaksikan para mantan pemimpin atau petinggi negeri ini untuk tetap eksis, menghampiri dan berbaur dalam masyarakat tanpa mengalami PPS atau deprivasi relatif.

***

Sumber:

Bowen,D.R., BowenE.R. & Gawsier,S.R. (1968) Deprivation, mobility and orientation toward protest of the urban poor. American Behavioral Scientist. 11 (4):20-24, London: Sage Publication.

Fiest, J. & Fiest,J.G. (2002) Theories of personality. Boston: McGraw Hill

Grant,P.R. & Brown,R. (1995) From ethnocentrism to collective protest: responses to relative deprivation and threats to social identity. Social Psychology Quarterly. 1995, Sep, vol.58(3):195-212. American Psychology Association.

Klandersman,B.(1997) The social psychology of protest. USA: Blackwell Publishers.

Sukaji,S. (1997) Diagnostik v inventori dan kepribadian. Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi UI.

Supardi, S. (2002) Apakah post power syndrome? Kompas.co.id/litbang/kliping

Tri Mardhany, V. (2003) Sikap dan makna hidup pada pensiunan yang mengalami post power syndrome dengan yang tidak mengalami post power syndrome. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Turner & Helms (1987) Cara jitu atasi post power syndrome. http://2000 klinikpria.com

Wright,S.C., Taylor,D.M., Moghaddam,F.M. (2001) Responding to membership in a disadvantage group: from acceptance to collective protest. Dalam Intergroup relations. Philadelphia: Psychology Press.

0 comments: