Sikap Hidup Di Hari Senja

Sunday, January 11, 2009

Kategori Lanjut Usia
Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.
Jakarta, 4/1/2008

Post power syndrome

Istilah post power syndrome (selanjutnya akan disebut PPS) sudah populer di masyarakat kita dan sering dikaitkan dengan masa pensiun. Manakala kita menemui seorang yang telah lepas dari jabatan tertentu namun bersikap seolah-olah masih memegang posisi penting dan memandang orang lain sebagai bawahannya, kita akan langsung menebak orang tersebut mengalami PPS. Hal itu pulalah yang menjadikan susahnya regenerasi kepemimpinan di negeri ini. Sangat sulit ditemui seorang mantan pemimpin daerah atau institusi penting yang begitu lepas dari jabatannya mampu legowo berbaur dengan 'orang biasa' dan bersikap selayaknya 'orang biasa'. Terlebih jika tampuk kepemimpinan itu dinikmati dalam kurun waktu yang lama tanpa pesaing.

Supardi (2002) menyatakan PPS sebagai perubahan suatu keadaan yang sebelumnya menguntungkan menjadi tidak menguntungkan seperti kehilangan pekerjaan, jabatan atau perubahan status sosial ekonomi.

Turner & Helms (dalam Supardi, 2002) menggambarkan penyebab terjadinya PPS dalam kasus kehilangan pekerjaan yakni (1) kehilangan harga diri- hilangnya jabatan menyebabkan hilangnya perasaan atas pengakuan diri); (2) kehilangan fungsi eksekutif- fungsi yang memberikan kebanggaan diri; (3) kehilangan perasaan sebagai orang yang memiliki arti dalam kelompok tertentu; (4) kehilangan orientasi kerja; (5) kehilangan sumber penghasilan terkait dengan jabatan terdahulu.

Semua ini bisa membuat individu pada frustrasi dan menggiring pada gangguan psikologis, fisik serta sosial. Gangguan tersebut biasanya ditandai dengan munculnya sensitivias emosional seperti mudah kecewa, cepat tersinggung, uring-uringan tanpa sebab yang jelas, gelisah juga diliputi kecemasan berlanjut.

PPS tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal seperti dipaparkan di atas, melainkan juga ditentukan oleh faktor internal seperti kepribadian dan sikap mental. Erikson menggambarkan perkembangan psikososial seseorang dalam delapan tahapan; infancy, early childhood, play age, school age, adolescence, young adulthood, adulthood dan old age.


Masa Pensiun

Old age (masa tua) bisa menjadi masa yang menyenangkan atau sebaliknya menyedihkan. "Old age can be a time of joy, playfulness, and wonder, but it is also a time of senility, depression, and despair," (Erikson dalam Fiest & Fiest, 2002). Kekuatan di masa ini adalah wisdom (kebijaksanaan) yang oleh Erikson digambarkan sebagai kondisi kaya akan pemahaman dan obyektif terhadap kehidupan dalam menghadapi akhir dari kehidupan itu sendiri, "informed and detached concern with life itself in the self of death itself."

Individu usia 55 - 65 tahun mengalami fase ke-7 (fase generativitas vs stagnasi) dan ke-8 (fase integritas diri vs putus asa) dalam tahap perkembangan Erikson. Pada individu yang mengalami PPS, fase stagnasi dan putus asa lah yang mendominasi perilakunya.

Fase stagnasi adalah fase di mana individu terpaku dan berhenti dalam beraktivitas atau berkarya, sementara pada fase putus asa, individu merasakan kecemasan yang mendalam, merasa hidupnya sia-sia, tidak berarti.


Sikap mental

Sukaji (1997) merumuskan sikap terhadap masa pensiun sebagai suatu kecenderungan untuk bereaksi favorable (menyenangi, menyetujui, menganggap baik dan positif) atau unfavorable terhadap suatu kelas stimuli tertentu, misalnya terhadap para pensiunan menghadapi masa pensiun.

Tri Mardhany dalam skripsinya yang berjudul Makna hidup pada pensiunan yang mengalami post power syndrome dengan yang tidak mengalami post power syndrome (Fakultas Psikologi UI, 2003) menyimpulkan bahwa perbandingan sikap menghadapi masa pensiun pada pensiunan yang mengalami PPS dan non PPS secara signifikan mengalami perbedaan. Non PPS menyikapi masa pensiun secara positif dan menyadari usianya telah lanjut. Sedangkan PPS menyikapi masa pensiun dengan menyangkalnya. Penyangkalan ini karena mereka yang mengalami PPS memiliki orientasi pada bekerja dan jabatan yang disandang.
Menarik untuk disimak hasil studi Tri Mardhany dalam tabel berikut:

Perbedaan Sikap dan Makna Hidup antara Pensiun PPS dan Non PPS

Deprivasi Relatif

Secara singkat deprivasi relatif merupakan ketidaksesuaian antara kenyataan hidup yang dialami dengan definisi hidup yang layak, antara harapan atas suatu pekerjaan dengan kenyataan hidup yang dialami (Bowen, Bowen dan Gawsier,1968) atau feelings of dissatisfaction, discontent and unfairness (Grant & Brown, 1995).

Orang yang kehilangan pekerjaan baik karena telah memasuki pensiun atau pemutusan hubungan kerja dan sebagainya sangat mungkin mengalami deprivasi relatif. Perasaan kehilangan dan tidak adilnya hidup masa sekarang dibandingkan dengan masa yang sebelumnya. Terdapat proses perbandingan di sini.

PPS, yang merupakan kondisi tidak menguntungkan dari keadaan terdahulu sejalan dengan deprivasi yang akan sangat terasa karena orientasi diri orang yang mengalami PPS ada pada pekerjaan dan kekuasaan. Meskipun dalam studi deprivasi, sebesar apapun kesenjangan antara harapan dengan kenyataan tidak selalu menghasilkan ketidakpuasan dan kemarahan (Wright, Taylor, Moghaddam,2001; Klandersman,1997). Namun Klandersman dalam value-expectancy theory nya juga menyatakan bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi nilai (value) dari hasil yang diharapkan dari sebuah perbuatan. "Individual's behavior is a function of the value of expected outcomes of behavior" (Klandersman,1997,h.26). Perilaku seseorang akan menghasilkan sesuatu, semakin tinggi nilai yang diharapkan, semakin tinggi pula keinginan untuk mewujudkan perilaku tertentu.


Asa

Mantan presiden Amerika Jimmy Carter masih sering terlihat aktif berkeliling dunia dalam misi kemanusiaan dan masih mendapat penghormatan dan penghargaan tulus masyarakat dunia. Semoga bangsa Indonesia tidak harus menunggu lebih lama lagi untuk memiliki dan menyaksikan para mantan pemimpin atau petinggi negeri ini untuk tetap eksis, menghampiri dan berbaur dalam masyarakat tanpa mengalami PPS atau deprivasi relatif.

***

Sumber:

Bowen,D.R., BowenE.R. & Gawsier,S.R. (1968) Deprivation, mobility and orientation toward protest of the urban poor. American Behavioral Scientist. 11 (4):20-24, London: Sage Publication.

Fiest, J. & Fiest,J.G. (2002) Theories of personality. Boston: McGraw Hill

Grant,P.R. & Brown,R. (1995) From ethnocentrism to collective protest: responses to relative deprivation and threats to social identity. Social Psychology Quarterly. 1995, Sep, vol.58(3):195-212. American Psychology Association.

Klandersman,B.(1997) The social psychology of protest. USA: Blackwell Publishers.

Sukaji,S. (1997) Diagnostik v inventori dan kepribadian. Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi UI.

Supardi, S. (2002) Apakah post power syndrome? Kompas.co.id/litbang/kliping

Tri Mardhany, V. (2003) Sikap dan makna hidup pada pensiunan yang mengalami post power syndrome dengan yang tidak mengalami post power syndrome. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Turner & Helms (1987) Cara jitu atasi post power syndrome. http://2000 klinikpria.com

Wright,S.C., Taylor,D.M., Moghaddam,F.M. (2001) Responding to membership in a disadvantage group: from acceptance to collective protest. Dalam Intergroup relations. Philadelphia: Psychology Press.

Memahami Mitos & Realita Tentang Lansia

Kategori Lanjut Usia
Oleh : Drs. H. Zainuddin Sri Kuntjoro, MPsi.
Jakarta, 4/2/2002

Dalam masyarakat kita, sering dijumpai pengertian dan mitos yang salah kaprah mengenai lansia, sehingga banyak merugikan para lansia. Salah kaprah tersebut adalah anggapan dan pandangan yang keliru namun tetap diucapkan dan dipraktekkan secara keliru pula, sehingga sangat merugikan. Dalam hal ini yang dirugikan adalah para lanjut usia, karena dapat merupakan stigma (cap buruk) dari masyarakat dan dapat mempengaruhi orang-orang yang sesungguhnya memiliki kepedulian untuk membantu para lansia. Salah kaprah yang seringkali kita jumpai dalam masyarakat mencakup beberapa hal sebagai berikut:

* Lansia berbeda dengan orang lain
* Lansia tidak dapat belajar keterampilan baru serta tidak perlu pendidikan dan latihan
* Lansia sukar memahami informasi baru
* Lansia tidak produktif dan menjadi beban masyarakat
* Lansia tidak berdaya
* Lansia tidak dapat mengambil keputusan
* Lansia tidak butuh cinta dan tidak perlu relasi seksual
* Lansia tidak menikmati kehidupan sehingga tidak dapat bergembira<>
* Lansia itu lemah, jompo, ringkih, sakit-sakitan atau cacat
* Lansia menghabiskan uang untuk berobat
* Lansia sama dengan pikun

Dalam masyarakat kita selaku orang timur dengan budaya kekeluargaan yang sangat kental; anak, cucu dan sanak saudara dari para lansia pada umumnya sangat tidak keberatan untuk menerima kehadiran dan keberadaan lansia di dalam keluarganya. Namun demikian adanya pandangan yang keliru seperti tersebut diatas tak urung bisa mempengaruhi anggota keluarga dalam memperlakukan para lansia. Hal inilah yang perlu diperjelas supaya salah kaprah tersebut tidak terjadi berkepanjangan dan perlu dicari cara untuk mensosialisasikan pengertian dan pemahaman yang benar sehingga lansia memiliki hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan kondisi, usia, jenis kelamin dan status sosial mereka dalam masyarakat. Salah satu cara mengurangi salah kaprah dan tindakan yang keliru sehingga dapat memahami lansia secara benar adalah dengan melihat realita yang ada.

Lansia Berbeda Dengan Orang Lain

Orang yang mencapai tahap perjalanan hidup sampai mencapai lanjut usia dapat dikatakan sebagai orang yang beruntung. Mereka telah mengenyam kehidupan dalam masa yang panjang. Di Indonesia pemerintah dan lembaga-lembaga pengelola lansia, memberi patokan bahwa mereka yang disebut lansia adalah yang telah mencapai usia 60 tahun yang dinyatakan dengan pemberian KTP seumur hidup. Namun di negara maju diberi patokan yang lebih spesifik: 65 - 75 tahun disebut old, 76 - 90 tahun disebut old -- old dan 90 tahun ke atas disebut very old (W.M.Roan, 1990). Pengelompokan tersebut bersifat teoritik artinya untuk kepentingan ilmiah namun dalam kenyataan untuk pelayanan kesehatan, sosial dan sebagainya tidak dibedakan. Meskipun lansia seringkali mendapat prioritas dan fasilitas; misalnya kalau naik pesawat dapat potongan khusus, beberapa tempat wisata memberi karcis gratis bagi pengunjung lansia, di bandara atau stasiun Kereta Api disediakan loket/jalan khusus bagi lansia, hal itu bukan dimaksudkan untuk membedakan lansia dengan orang lain tetapi lebih bertujuan untuk membantu kelancaran pelayanan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka.

Bahwa para lansia tersebut harus dihormati tentu kita semua setuju. Sebagai orang timur orang yang lebih tua (baca: berusia lanjut) memang mendapat kehormatan yang lebih dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Dalam adat Jawa lansia sebagai pinisepuh atau sesepuh yaitu orang yang memiliki kehormatan yang tinggi dan bila ada hajatan ditempatkan di tempat yang istimewa.

Lansia Tidak Dapat Mempelajari Ketrampilan Baru dan Tidak Memerlukan Pendidikan dan Latihan

Kenyataan di masyarakat terutama di Perguruan Tinggi banyak lansia yang dapat menyelesaikan studinya sampai jenjang S-2 atau S-3, berkompetisi dengan orang-orang muda secara jujur dan objektif. Bahkan dalam proses belajar bersama para lansia tersebut justru sering menjadi teladan yang memberikan motivasi yang tinggi bagi kawan-kawannya yang lebih muda. Hal itu menunjukkan bahwa lansia dapat mempelajari ketrampilan baru sama baiknya dengan orang lain, hanya mungkin karena lama tidak berlatih dan kadang-kadang kurang memiliki keyakinan akan kemampuannya sehingga butuh dorongan dari orang lain. Bagi lansia dorongan dan keinginan mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru merupakan suatu hal yang biasa, baik dengan motivasi untuk meningkatkan mutu kehidupannya maupun mengisi waktu luangnya agar lebih produktif dan berguna. Semakin banyak pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki lansia makin banyak pula hal-hal yang dapat disumbangkan kepada masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa lansia merupakan sumber ilmu pengetahuan dan keterampilan serta referensi yang sangat baik dan berharga, sehingga perlu dipelihara. Cara memeliharanya adalah dengan mengajak mereka untuk berdiskusi, berkonsultasi, bertanya serta menempatkan lansia sebagai nara sumber dalam berbagai bidang yang disenangi dan dimiliki.

Berdasarkan kenyataan di atas adalah keliru bila lansia itu dianggap tidak dapat mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru. Sebaliknya, mereka justru memiliki sumber enerji yang tetap kuat untuk belajar, meski perlu motivator untuk lebih meyakinkan bahwa dirinya mampu. Pandangan yang keliru pula yang mengatakan bahwa lansia itu jompo, rapuh, tidak perlu belajar dan berlatih, dan tidak perlu bekerja, sehingga dianjurkan untuk istirahat, enak-enak, ongkang-ongkang kaki saja di rumah. Jika pandangan tersebut dipraktekkan maka justru mungkin hal semacam itulah yang akan menimbulkan stress dan distress serta dispair (putus harapan) pada lansia. Merupakan suatu tindakan yang bijaksana jika para anggota keluarga tetap memberikan kesempatan pada lansia untuk melakukan kegiatan apa saja yang disukainya sehingga tetap menjaga harga diri, martabatnya serta merasa dirinya berguna untuk yang lain. Agar lansia tetap eksis dalam keluarga dan masyarakat maka perlu pendidikan dan latihan dalam arti menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pribadinya serta tuntutan lingkungan.

Lansia Sukar Menerima Informasi Baru

Pada lansia kesempatan untuk memperoleh informasi baru justru terbuka lebar, karena waktu senggangnya relatif banyak. Umumnya pada masa ini tidak dituntut untuk bekerja keras seperti masa-masa sebelumnya. Dalam kehidupan lansia umumnya haus akan berita-berita baru dan informasi-informasi baru, karena mereka tidak mau ketinggalan informasi dibandingkan orang-orang yang lebih muda. Dalam kenyataan kita menjumpai bahwa mereka banyak nonton televisi, mendengarkan radio, membaca koran, majalah ataupun bertanya kepada sesama lansia atau orang yang lebih muda tentang tentang hal-hal baru yang berkembang dalam masyarakat. Dalam kenyataan lansia lebih tahu berita baru dari orang-orang lain dan sangat senang menyampaikan berita baru tersebut kepada kawan-kawannya, maupun kepada yang lebih muda. Bagi lansia adanya informasi baru berarti menstimulasi fungsi kognitifnya, fungsi afektifnya dan fungsi psikomotoriknya yang membuat syaraf-syaraf otaknya tetap berfungsi secara normal.

Lansia Tidak Produktif dan Menjadi Beban Masyarakat

Umumnya lansia di negara-negara berkembang dan negara-negara yang belum memiliki tunjangan sosial untuk hari tua, akan tetap bekerja untuk memenuhi tuntutan hidup maupun mencukupi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya. Jadi tidaklah sepenuhnya benar jika dikatakan lansia tidak produktif. Dalam kenyataan di dunia ini jutaan orang bekerja mendapat bayaran, namun ada juga jutaan orang bekerja tanpa mendapat bayaran misalnya pemuka masyarakat, ulama, guru-guru ngaji, mereka yang merawat anak-anak, orang sakit, orang cacat, lansia yang sudah sangat tua, guru sukarelawan dan banyak lagi. Baik yang dibayar maupun yang tidak semuanya memiliki andil dan sumbangan yang besar dalam perkembangan masyarakat. Biasanya para lansia memainkan perannya sebagai orang-orang yang bekerja tanpa mendapat bayaran namun memiliki arti yang sangat penting dalam masyarakat karena sumbangan ide-ide dan nasehatnya. Dalam proses penuaan sendiri mereka sering menemukan cara-cara yang tepat dan bijaksana dalam mengatasi tantangan yang dihadapi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam banyak kasus, lansia seringkali merupakan penasehat yang jitu untuk mengatasi masalah-masalah sosial dalam kehidupan masyarakat. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa lansia amat memerlukan dukungan atau support dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Lansia bukan merupakan beban bagi yang muda, sebaliknya mereka sering menjadi teladan bagi orang muda, misalnya dalam sopan santun, disiplin, keteguhan iman, kejujuran, semangat juang, maupun kewibawaan.

Lansia Tidak Berdaya

Tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa lansia itu tidak berdaya, sebab dalam kenyataan para lansia tetap eksis dan terus berjuang mencari kehidupan yang lebih baik. Kalau seorang lansia memerlukan bantuan biasanya ia tahu persis apa yang diperlukan secara wajar. Mereka memiliki banyak pengalaman dalam kehidupannya, sehingga dalam keseharian kita sering menjumpai bahwa lansia tidak mau tinggal diam, ada saja yang ingin dikerjakannya. Terkadang memang ada yang menjadi loyo atau pasrah, mereka ini umumnya lansia yang pada masa mudanya sudah terkuras oleh tugas-tugas berat dan tingkat pendidikan yang relatif rendah, sehingga dalam masa lansia tidak berdaya. Untuk menghadapi lansia model demikian, lingkungan hendaknya selalu memberikan support dan rasa peduli, agar mereka tidak merasa tersisih dan tetap memiliki harga diri. Adalah keliru jika anggota keluarga selalu mendampingi lansia, melarang mereka untuk berkomunikasi dengan sesama lansia, melarang mereka bepergian ke suatu tempat karena takut kecapaian, dan menganjurkan lansia untuk istirahat saja di rumah. Cara demikian justru akan memperburuk kondisi lansia yang berakibat bahwa mereka akhirnya merasa tak berdaya.

Lansia Tidak Dapat Mengambil Keputusan Untuk Kehidupan Dirinya

Setiap orang kadang-kadang sulit mengambil keputusan. Hal ini berlaku bagi siapa saja, baik bagi orang muda atau lansia. Namun demikian tidaklah berarti bahwa lansia tidak dapat mengambil keputusan untuk kehidupannya sendiri. Bahkan lansia sebagai orang yang dihormati, justru sering dijadikan referensi untuk dimintai nasehatnya oleh anak, cucu maupun sanak saudara, dalam mengambil keputusan. Sebagai contoh seorang anak atau cucu bila masih memiliki kakek- nenek, bila akan mengadakan hajatan akan selalu minta doa restu dan nesehat dalam mengambil keputusan penting. Nasehat dari orang tua yang sudah lanjut usia ini akan dipegang teguh dan dilaksanakan oleh anak cucunya. Hal yang perlu diperhatikan agar lansia mampu mengambil keputusan untuk kepentingan kehidupan dirinya adalah dengan cara sering mengajaknya berdiskusi tentang hal-hal baru dan sering meminta petunjuk atau petuahnya sehingga ia merasa tetap eksis dan memiliki rasa percaya diri.

Lansia Tidak Butuh Cinta dan Relasi Seksual

Fungsi psikis setiap orang baik fungsi kognitif, afektif dan konatif (psikomotorik) serta kombinasi-kombinasinya, selama hayat masih dikandung badan masih tetap berfungsi. Proses pikir, perasaan dan kemauannya tetap berfungsi dengan baik, apalagi bila sering mendapat stimulasi secara teratur dalam kehidupannya. Bahkan relasi seksualpun tetap berjalan bila masih memiliki pasangan. Oleh karena itu, adalah tindakan yang keliru jika lansia dianjurkan untuk meng-isolasi diri agar tidak memiliki pikiran yang menyusahkan dirinya ataupun keinginan-keinginan yang menyusahkan orang lain. Agar gairah hidup tetap berkobar lansia perlu berinteraksi dengan orang-orang muda untuk berdiskusi, berkomunikasi atau bersuka ria. Sayangnya seringkali orang muda tidak tertarik untuk melakukan hal itu. Namun demikian bila orang-orang muda memiliki pemahaman yang benar tentang kebutuhan lansia dan mau membantu kesejahteraan batin mereka; hendaknya yang muda (terutama anggota keluarga) mau beramal untuk kepentingan lansia.

Lansia Tidak Menikmati Kehidupan Sehingga Tidak dapat Bergembira

Pada dasarnya tidak ada orang di dunia ini berencara untuk berhenti bersenang-senang, kecuali orang tersebut berada dalam kondisi depresi atau distress. Semua orang ingin hidup senang, bahagia dan sejahtera, termasuk para lansia. Lansia sekarang ini justru mendambakan kenikmatan hidup di hari tua. Itulah sebabnya sejak muda orang sudah bekerja keras, agar di hari tua nanti mendapat pensiun ataupun tabungan yang cukup untuk menikmati masa tuanya. Harapan itu merupakan idaman setiap orang, sehingga termotivasi untuk belajar dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi bahkan sekarang semua berlomba untuk belajar sampai S-3. Kiranya usaha keras untuk mencari ilmu pengetahuan bertujuan untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan, sehingga nantinya memiliki hari tua yang sejahtera, dapat menikmati hidup hari tua dan bahagia atau menjadi lansia yang dapat bergembira.

Agar lansia dapat menikmati kehidupan di hari tua sehingga dapat bergembira atau merasa bahagia, diperlukan dukungan dari orang-orang yang dekat dengan mereka. Dukungan tersebut bertujuan agar lansia tetap dapat menjalankan kegiatan sehari-hari secara teratur dan tidak berlebihan. Dukungan dari keluarga terdekat dapat saja berupa anjuran yang bersifat mengingatkan si lansia untuk tidak bekerja secara berlebihan (jika lansia masih bekerja), memberikan kesempatan kepada lansia untuk melakukan aktivitas yang menjadi hobinya, memberi kesempatan kepada lansia untuk menjalankan ibadah dengan baik, dan memberikan waktu istirahat yang cukup kepadanya sehingga lansia tidak mudah stress dan cemas. Perlu dipahami bahwa setelah orang mencapai masa lansia, baik fisik maupun mental sosial secara perlahan mengalami perubahan, namun hal itu dapat ditahan agar perubahan tersebut tidak terlalu dirasakan sebagai penghambat dalam kehidupan. Perubahan-perubahan yang terjadi hendaknya jangan dijadikan sumber stress tetapi perlu diwaspadai dengan melakukan pemeriksaan kesehatan secara periodik. Kalau orang percaya bahwa dirinya sehat, maka ia akan memiliki gairah hidup yang baik dan tidak menunjukkan rasa khawatir yang berlebihan.

Lansia Lemah, Jompo, Ringkih, Sakit-sakitan atau Cacat

Tidaklah sepenuhnya benar pendapat yang mengatakan bahwa lansia lemah, jompo, ringkih, sakit-sakitan atau cacat, karena dalam kenyataan banyak lansia yang masih gagah, masih mampu bekerja keras bahkan banyak yang masih memiliki jabatan penting dalam suatu lembaga. Memang kadang-kadang ada lansia yang ringkih (gampang jatuh, gampang sakit) atau sakit ataupun cacat tetapi hal itu berlaku untuk semua orang, baik orang muda juga ada yang memiliki kondisi semacam itu. Kondisi kesehatan orang dalam masyarakat menurut paradigma kesehatan saat ini bergradasi dari : lebih sehat, sehat, sehat sakit (ill health), sakit dan cacat (impairment – disability – handicap). Kondisi kesehatan itu berlaku baik untuk anak, remaja, dewasa maupun lansia, jadi sebenarnya bukan lansia saja yang sakit-sakitan atau cacat, yang lain pun bisa demikian

Lansia Menghabiskan Uang untuk Berobat

Memang benar para lansia perlu melakukan pemeriksaan kesehatan secara periodik, namun bukan berarti bahwa mereka adalah orang yang sakit-sakitan. Untuk menjaga kesehatan tentu juga memerlukan obat, namun hal itu bukan berarti menghabis-habiskan uang untuk berobat. Perlu dipahami bahwa orang dalam perjalanan hidup sampai usia 70 ke atas pasti kadar gula, garam,dan lemak dalam tubuh sudah lebih banyak, sehingga mudah menjadi rentan terhadap penyakit kencing manis, stroke, jantung atau yang lainnya. Namun semuanya akan dapat dikontrol bila orang rajin memeriksa kesehatan. Lansia yang paham tentang kondisi dirinya tentu juga akan mengatur hidupnya secara lebih baik, misalnya makan tidak berlebihan, melakukan diet, tidak melakukan kegiatan-kegiatan secara berlebihan, sehingga memperkecil timbulnya penyakit. Lansia umumnya tahu diri dan faham dalam menjaga dan memelihara kesehatan dirinya yang ditunjukkan bentuk rajin olah raga ringan, rajin beribadah dan peduli terhadap kesehatannya.

Lansia Sama Dengan Pikun

Pandangan ini keliru karena tidak semua lansia mengalami pikun (senile). Pikun ini adalah penyakit (patologis) pada orang tua, yang ditandai dengan dengan menurunnya daya ingat jangka pendek. Dalam kehidupan manusia daya ingat akan berubah sesuai dengan usia, sehingga setelah orang menjadi lansia ia tidak cepat dapat mengingat sesuatu, terutama hal yang baru. Namun anggapan bahwa lansia sama dengan pikun merupakan suatu kekeliruan. Banyak cara menyesuaikan diri dengan perubahan daya ingat dan banyak hal yang mempengaruhi daya ingat manusia, pada usia berapa saja daya ingat tersebut akan berkurang ketajamannya jika orang trsebut dalam keadaan lelah, stress, cemas, khawatir, depresi, sakit atau jiwanya tidak tenang.

Demi menjaga agar daya ingat lansia tidak cepat berubah secara frontal, karena kondisi fisik dan usia, maka perlu dihindarkan atau paling tidak dikurangi dari hal-hal yang dapat menimbulkan kelelahan, kekawatiran, kecemasan, rangsangan emosi, depresi dan sakit. Disinilah kepedulian dari orang yang lebih muda sangat diperlukan sebagai kontrol agar lansia tidak melakukan hal-hal yang merugikan dirinya. (jp)

Sumber : http://www.e-psikologi.com/epsi/lanjutusia.asp

Sejarah Psikologi

Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, psikologi melalui sebuah perjalanan panjang. Bahkan sebelum Wundt mendeklarasiikan laboratoriumnya tahun 1879 – yang dipandang sebagai kelahiran psikologi sebagai ilmu – pandangan tentang manusia dapat ditelusuri jauh ke masa Yunani kuno. Dapat dikatakan bahwa sejarah psikologi sejalan dengan perkembangan intelekstual di Eropa, dan mendapatkan bentuk pragmatisnya di benua Amerika.

Berdasarkan pandangan tersebut, bagian Sejarah Psikologi ini akan dibagi ke dalam beberapa periode dengan berbagai tokohnya.



Psikologi sebagai bagian dari filsafat

* Masa Yunani
* Masa Abad Pertengahan
* Masa Renaisans

Psikologi sebagai bagian dari ilmu faal

* Masa Pasca Renaisans

Psikologi sebagai ilmu yang mandiri

* Masa akhir abad ke-19

Memasuki abad ke-20, psikologi berkembang dalam berbagai school of thought. Kalau Wundt meletakkan dasar bagi psikologi dengan pandangan strukturalisme, maka selanjutnya berbagai aliran utama yang muncul adalah sebagai berikut.

* Fungsionalisme
* Behaviorisme
* Psikoanalisa
* Psikologi Gestalt
* Psikologi Humanistik

Melalui pemahaman sejarah psikologi ini, diharapkan akan muncul pemahaman yang lebih utuh tentang apa itu psikologi.


Sumber kepustakaan dalam semua tulisan dalam modul ini adalah:

Brennan, J.F. (1991). History and Systems of Psychology. New Jersey : Prentice Hall Inc.
Lundin, (1991). Theories and Systems of Psychology. 4 rd Ed. Toronto: D.C. Heath and Company.

Sumber : http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/sejarah-psikologi.html